JABARCENNA.COM | Portal Berita Jabar Katanya


JABARCENNA.COM, Karawang - Ratusan massa warga berunjuk rasa menuntut Bupati Karawang untuk segera menghentikan operasi penambangan batu di Gunung Sirnalangge oleh PT Altasindo, di di kantor bupati Selasa, 7 Agustus 2018.



Warga menyatakan PT Atlasindo telah merusak Gunung Sirnalanggeng, sehingga keseimbangan alam di sekitarnya terganggu. 

Penambangan juga telah memangkas hampir setengah dari puncak gunung Sirnalangge, sehingga angin bertiup sangat kencang di pemukiman warga di kaki gunung karena angin tidak lagi tertahan gunung.

Selain itu, warga juga mengalami kekurangan air pada musim kemarau ini, yang mana hal tersebut tidak pernah terjadi sebelumnya.

"Sebelumnya desa kami tidak pernah mengalami kekeringan. Angin juga bertiup normal, tetapi sekarang bertiup kencang karena puncak gunung yang menghalangi angin sudah dipangkas," tutur Rahmat, salah seorang pengunjuk rasa.

Bupati Karawang Cellica Nurrachadiana didampingi pihak DPMPTSP dan DESDM (Dinas Energi Sumber Daya Mineral) Provinsi Jawa Barat, menerima beberapa perwakilan warga. 

Dalam pertemuan tersebut terungkap, Gunung Sirnalanggeng yang terletak di Desa Cintalanggeng dieksploitasi batunya oleh PT Atlasindo sejak tahun 2002. 

Saat itu, PT Atlasindo menggandeng Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) untuk melakukan penambangan. Namun selanjutya PT Atlasindo jalan sendiri dan Bumdes pun ditinggalkan.

Selanjutnya, PT Atlasindo mengurus izin eksploitasi ke Kementerian Kehutanan hingga terbit izin dari Menhut No. 257/Menhut/II/2013 untuk membang batu di atas lahan Kehutanan seluas 14 Hektare.

Perizinan

Dalam pertemuan tersebut, Yudi Wibiksana, salah seorang aktivis lingkungan Karawang menuturkan lebih rinci lagi. Dikatakanya, PT Atlasindo mengantongi Suran Izin Penambangan Daerah (SPID) No. 541.30/Kep.05-SPID/TM/DLH. 

Namun, pada tahun 2010 perusahaan itu mengajukan perubahan dari SPID menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP).

PT Altasindo saat ini mengantongi izin IUP No. 541.3/116.a/03/II.12-IUP/Tamben pada 2012 yang masa menambangnya habis pada tahun 2020.

Yudi menambahkan, PT Altasindo juga mendapat izin pinjam pakai kawasan hutan seluas 14 Ha, sesuai SK.257/Menhut-II/2013 yang akan berakhir masa berlakunya hingga 10 September 2020. 

"Namun izin itu sebentar lagi akan habis masa berlakunya. Dan oleh karena itu mereka (PT Atlasindo) sejak dari sekarang mulai mengurus perpanjangan izin," kata Yudi.

"Namun Ironisnya, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Jawa Barat sudah memberikan persetujuan dengan keluarnya SK Nk.540/Kep.06/10.1.06.2/DPMPTSP/2017," kata Yudi.

Sementara pihak DPMPTSP yang hadir dalam pertemuan tersebut beralasan pihaknya mengeluarkan izin perpanjangan karena Pemkab Karawang telah mengeluarkan rekomendasi persetujuan atas perpanjangan izin PT Atlasindo.

Yudi pun meminta Pemkab Karawang untuk memenuhi tuntutan warga menutup penambangan di Gunung Sirnalangge. 

Karena, kata Yudi, penambangan oleh Atlasindo telah merugikan warga sekitar. Saat ini, Gunung tersebut 39% puncaknya telah rusak, sehingga warga kesulitan mendapatkan air bersih. Atas dasar itu, sambung Yuda, masyarakat sengaja mendatangi kantor bupati agar kegiatan penambangan di Karawang selatan itu dihetikan. 

"Sebagai pihak yang memberi relomendasi, Pemkab Karawang harus bertangggung jawab," katanya.

Bupati Karawang Cellicia Nurrachadiana setuju dengan tuntutan warganya untuk menutup kegiatan penambangan olwh PT Altasindo.

Cellica secara tegas menyatakan akan menutup aktivitas PT Atlasindo di Gunung Sirnalanggeng. 

"Kita akan tutup. Apalagi, jika kegiatan perusahaan itu tidak membawa manfaat bagi masyarakat Karawang, bahkan cenderung merugikan," ucap Cellica.

Cellica bahkan mencurigai proses perizinan yang dilakukan PT Atlasindo tidak ditempuh secara benar. 

Selepas pertemuan, Cellicia menyempatkan diri menemui warga yang berunjuk rasa, dan nenyampaikan sikap Pemkab Karawang atas kegiatan penambangan di gunung Sirnalangge.

"Demi kepantinganasyarakat Karawang kami merekomendasikan agar semua izin yang dikantongi Atlasindo dicabut atau dibekukan," kata Cellica di hadapan para pengunjuk rasa.


.jamal/tn

Petugas Inafis Polres Jakarta Selatan sedang melakukan olah TKP di rumah Kapitra Ampera, Senin (6/8). (Foto:Ist)
JABARCENNA.COM, Jakarta – Rumah Kapitra Ampera mantan pengacara Habib Rizieq di Jalan Tebet Timur Dalam 8, Jakarta Selatan, dilempar dua bom molotov oleh orang tidak dikenal, Senin 6 Agustus 2018.

Kedua bom terbuat dari botol minuman energi Kratingdaeng yang dilengkapi sumbu dan diisi minyak.

Kapitra yang sedang berada di mesjid segera datang ke rumahnya.

“Dua molotov, satu pecah di garasi, satu lagi masuk ke dalam rumah,” kata Kapitra.

Kapitra mengaku tidak dapat menduga siapa yang melakuan dan juga tidak mengetahui motif pelemparan bom molotov itu ke rumahnya.

Dan dia juga tidak mau memastikan pelemparan bom molotov itu terkait majunya dia sebagai bakal calon legislatif dari PDI Perjuangan.

Petugas inafis dari Polres Jakarta Selatan yang melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP), saat memeriksa CCTV terpasang di rumah Kapitra melihat rekaman dua orang yang berkendara berboncengan melempar bom molotov ke rumah Kapitra.

Kasat Reskrim Polres Jaksel AKBP Stefanus Tamuntuan menjelaskan, peristiwa pelemparan molotov terjadi sekitar pukul 19.10 WIB.

"Terjadi pelemparan molotov berupa botol Kratingdaeng dan diberikan sumbu dan berisi bensin," kata Stefanus.

Kasus ini masih dalam penanganan aparat Polres Jakarta Selatan.


.poltak/tn

JABARCENNA.COM, Jakarta - Sebanyak 91 orang dinyatakan meninggal dunia dan 209 lainnya mengalami luka-luka akibat gempa Lombok, NTB yang terjadi Minggu malam kemarin, 5 Agustus 2018.

Demikian disampaikan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Senin (6/8) siang, namun demikian tidak seorangpun turis asing yang menjadi korban.

“Sampai dengan siang ini korban meninggal 91 orang meninggal dunia, 209 orang luka-luka, ribuan rumah rusak dan ribuan warga mengungsi,” kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugrohodi di Kantor BNPB, Jakarta, Senin (6/8).

Sutopo mengatakan, daerah Lombok Utara merupakan daerah yang paling parah terkena gempa bumi. 

“Di Lombok Utara total terdapat 72 orang meninggal dunia, 64 luka-luka,” ucapnya.

Korban di Lombok Utara dirincinya sebagai berikut:

- Desa Gondang Kecamatan Gangga 9 orang.
- Desa Sesait 5 orang
- Desa Sntong Pansor Daya Kecamatan Kayangan 18 orang
- Desa Dangiang kecamatan Kayangan 10 orang
- Desa pemenang Kecamatan Pemenang 1 orang
- Desa Gili Air 1 orang
- Desa Gumantar 18 orang
- Desa Lengkuku 2
- Desa Karang Lande 1 
- Desa Manggala 7 orang


Sementara, di Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur masing-masing dua orang korban meninggal.

Sedangkan di kabupaten Lombok Barat korban meninggal dunia sembilan orang. 

“Di kota Mataram 4 orang meninggal dunia, 63 orang luka berat, 8 luka ringan, 37 orang di Rumah Sakit daerah Siti Hajar,” ujar Sutopo.

Akibat gempa, korban jiwa juga jatuh di Bali yakni sebanyak dua orang.

Sutopo mengatakan, semua korban meninggal dunia adalah warga negara Indonesia karena tertimpa bangunan roboh.

“Ini data sementara, kami perkirakan jumlah ini masih akan terus bertambah, karena pendataan masih dilakukan, dan belum semua daerah di semua Lombok terjangkau oleh tim SAR gabungan,” kata dia.


.red


JABARCENNA.COM, Kuningan - LSM Infra (Indonesia For Transparency and Akuntability) asal Jakarta ini melakukan pertemuan dengan sejumlah tokoh masyarakat Desa Kawungsari, Kecamatan Cibeureum, Kabupaten Kuningan, Minggu, 5 Agustus 2018.

Pertemuan dilakukan di kediaman salah seorang tokoh desa setempat, Runedi. Selain para tokoh, pertemuan juga dihadiri Kades, Sekdes, Ketua BPD, dan Ketua LPM.

Direktur Eksekutif Infra, Agus Chaeruddin, dalam pertemuan tersebut menekankan pentingnya pembelaan hak-hak warga dilakukan sendiri oleh warga dan dalam kontrol warga.

"Kehadiran kami disini sifatnya hanya pendampingan. Tetapi perjuangan untuk mempertahankan dan memeroleh hak-hak warga, itu harus dilakukan warga sendiri," kata Agus.

Agus juga menegaskan, tidak ada pihak yang paling berkompeten bicara tentang hak-hak warga Desa Kawungsari, selain masyarakat Desa Kawungsari sendiri.

Harga Lelang

Dalam pertemuan terungkap kekhawatiran warga soal pembayaran tanah dan rumah warga keluar dari konsep 'Ganti Untung'.

"Kita khawatir nanti tanah dan bangunan kita dibayar dengan (konsep) ganti rugi atau ganti buntung," ucap seorang warga, Komarudin.

Komarudin khawatir pembayaran dilakukan secara tawar menawar seperti dagang kambing, seperti pembayaran lahan warga sebelumnya, baik di Desa Kawungsari maupun Desa Randusari.

"Satu meter Rp70 ribu...Rp75 ribu...Rp80 ribu...jadi seperti itu kaya lelangan aja. Kami warga jadi bingung. Kan, mestinya, buat pembebasan lahan sudah anggaranya. Artinya, harganya sudah ditetapkan pemerintah," ungkap Komaruddin.

Menanggapi itu, Agus mengatakan perlunya keinginan dan aspirasi warga itu dituamgkan secara tertulis lalu dikirimkan ke instansi berwenang, dalam hal ini Kementerian PUPR.

"Jadi sebaiknya warga berkirim surat, sampaikan semua apa keinginan warga. Nanti, kan pasti surat itu dijawab. Nah, jawaban surat itu akan jadi pegangan warga berhadapan dengan pihak-pihak tertentu yang ingin mengail di proyek bendungan ini," ucap Agus.

Pola Administrasi

Sementara anggota Infra lainya, Simung mengatakan, warga jangan mau mengikuti pola-pola koordinasi yang selama ini dikembangkan pihak-pihak tertentu.

"Pola administrasi yang harus dipakai warga, jangan pola-pola koordinasi. Karena dengan pola administrasi, warga mempunyai patokan yang jelas, dan pegangan yang legal, karena surat dikeluarkan oleh instansi berwenang. Bukan omongan oknum!!," tegas Simung.

Agus dan Simung pun mendorong dibentuknya Forum Masyarakat Desa Kawungsari, agar warga dapat berkomunikasi secara legal administratif kepada instansi pemerintah, baik di pusat maupun di daerah.

Status Tanah

Sementara itu tokoh masyarakat Desa Kawungsari, Runedi, mengidentifikasi beberapa masalah yang telah dan akan dihadapi warga Desa Kawungsari.

Selain soal besaran pembayaran tanah dan rumah warga, juga kepastian waktu pembayaran, tetapi juga adalah soal relokasi, terutama menyangkut status tanah.

Pemerintah telah menetapkan relokasi bagi warga Desa Kawungsari ke Desa Sukarapih, masih masuk wilayah Kecamatan Cibeureum.

"Tanah yang akan ditempati warga itu, kan, tanah Perhutani. Jangan nanti setelah sekian lama ditempati warga, tiba-tiba ada plang dari Perhutani dan meminta warga keluar areal tanah tersebut. Status tanah relokasi itu harus jelas, seperti apa," tanya Runedi.

Lalu Runedi mendesak pemerintah untuk segera membayar tanah mereka yang menjadi areal genangan bendungan Kuningan. Dan juga segera merelokasi warga.

Menurutnya, kalau tanah warga belum juga dibayar dikhawatirkan bencana banjir berikut akan membuat ukuran tanah menjadi tidak jelas. 

"Banjir yang kemarin saja sudah berat, bagaimana lagi dengan banjir besok. Bisa-bisa menghancurkan bangunan dan juga batas-bata tanah," ucap Runedi.

Dan menurutnya, pemerintah seharusnya mengeluarkan dana prabencana, karena pemerintah lambat merelokasi warga, sehingga warga mengalami bencana dan musibah saat banjir yang lalu. 

"Seharusnya dampak dan penderitaan warga bisa diminimalisir. Tetapi, karena pelaksanaan pembangunan ini tidak profesional, penderitaan warga jadi bertambah-tambah," kecam Runedi.


.tn
Diberdayakan oleh Blogger.