JABARCENNA.COM, Kuningan - LSM Infra (Indonesia For Transparency and Akuntability) asal Jakarta ini melakukan pertemuan dengan sejumlah tokoh masyarakat Desa Kawungsari, Kecamatan Cibeureum, Kabupaten Kuningan, Minggu, 5 Agustus 2018.
Pertemuan dilakukan di kediaman salah seorang tokoh desa setempat, Runedi. Selain para tokoh, pertemuan juga dihadiri Kades, Sekdes, Ketua BPD, dan Ketua LPM.
Direktur Eksekutif Infra, Agus Chaeruddin, dalam pertemuan tersebut menekankan pentingnya pembelaan hak-hak warga dilakukan sendiri oleh warga dan dalam kontrol warga.
"Kehadiran kami disini sifatnya hanya pendampingan. Tetapi perjuangan untuk mempertahankan dan memeroleh hak-hak warga, itu harus dilakukan warga sendiri," kata Agus.
Agus juga menegaskan, tidak ada pihak yang paling berkompeten bicara tentang hak-hak warga Desa Kawungsari, selain masyarakat Desa Kawungsari sendiri.
Harga Lelang
Dalam pertemuan terungkap kekhawatiran warga soal pembayaran tanah dan rumah warga keluar dari konsep 'Ganti Untung'.
"Kita khawatir nanti tanah dan bangunan kita dibayar dengan (konsep) ganti rugi atau ganti buntung," ucap seorang warga, Komarudin.
Komarudin khawatir pembayaran dilakukan secara tawar menawar seperti dagang kambing, seperti pembayaran lahan warga sebelumnya, baik di Desa Kawungsari maupun Desa Randusari.
"Satu meter Rp70 ribu...Rp75 ribu...Rp80 ribu...jadi seperti itu kaya lelangan aja. Kami warga jadi bingung. Kan, mestinya, buat pembebasan lahan sudah anggaranya. Artinya, harganya sudah ditetapkan pemerintah," ungkap Komaruddin.
Menanggapi itu, Agus mengatakan perlunya keinginan dan aspirasi warga itu dituamgkan secara tertulis lalu dikirimkan ke instansi berwenang, dalam hal ini Kementerian PUPR.
"Jadi sebaiknya warga berkirim surat, sampaikan semua apa keinginan warga. Nanti, kan pasti surat itu dijawab. Nah, jawaban surat itu akan jadi pegangan warga berhadapan dengan pihak-pihak tertentu yang ingin mengail di proyek bendungan ini," ucap Agus.
Pola Administrasi
Sementara anggota Infra lainya, Simung mengatakan, warga jangan mau mengikuti pola-pola koordinasi yang selama ini dikembangkan pihak-pihak tertentu.
"Pola administrasi yang harus dipakai warga, jangan pola-pola koordinasi. Karena dengan pola administrasi, warga mempunyai patokan yang jelas, dan pegangan yang legal, karena surat dikeluarkan oleh instansi berwenang. Bukan omongan oknum!!," tegas Simung.
Agus dan Simung pun mendorong dibentuknya Forum Masyarakat Desa Kawungsari, agar warga dapat berkomunikasi secara legal administratif kepada instansi pemerintah, baik di pusat maupun di daerah.
Status Tanah
Sementara itu tokoh masyarakat Desa Kawungsari, Runedi, mengidentifikasi beberapa masalah yang telah dan akan dihadapi warga Desa Kawungsari.
Selain soal besaran pembayaran tanah dan rumah warga, juga kepastian waktu pembayaran, tetapi juga adalah soal relokasi, terutama menyangkut status tanah.
Pemerintah telah menetapkan relokasi bagi warga Desa Kawungsari ke Desa Sukarapih, masih masuk wilayah Kecamatan Cibeureum.
"Tanah yang akan ditempati warga itu, kan, tanah Perhutani. Jangan nanti setelah sekian lama ditempati warga, tiba-tiba ada plang dari Perhutani dan meminta warga keluar areal tanah tersebut. Status tanah relokasi itu harus jelas, seperti apa," tanya Runedi.
Lalu Runedi mendesak pemerintah untuk segera membayar tanah mereka yang menjadi areal genangan bendungan Kuningan. Dan juga segera merelokasi warga.
Menurutnya, kalau tanah warga belum juga dibayar dikhawatirkan bencana banjir berikut akan membuat ukuran tanah menjadi tidak jelas.
"Banjir yang kemarin saja sudah berat, bagaimana lagi dengan banjir besok. Bisa-bisa menghancurkan bangunan dan juga batas-bata tanah," ucap Runedi.
Dan menurutnya, pemerintah seharusnya mengeluarkan dana prabencana, karena pemerintah lambat merelokasi warga, sehingga warga mengalami bencana dan musibah saat banjir yang lalu.
"Seharusnya dampak dan penderitaan warga bisa diminimalisir. Tetapi, karena pelaksanaan pembangunan ini tidak profesional, penderitaan warga jadi bertambah-tambah," kecam Runedi.
.tn