JabarCeNNa.com, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat saja mengabaikan Putusan Mahkamah Agung (MA) yang membolehkan eks koruptor nyaleg, karena putusan tersebut tidak otomatis berlaku.
"Bisa saja diabaikan, karena putusan tersebut tidak otomatis berlaku," kata pakar Hukum Tata Negara Universitas Hamka, Jakarta, Dr Syafrizal Arifin, SH,MH, kepada JabarCeNNa.com per telepon, Sabtu, 15 September 2018.
Dasar hukumnya, kata Syafrizal, adalah Peraturan MA No 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materil.
Dalam Pasal 8 Ayat (2) Perma tersebut dikatakan, apabila putusan MA tentang hak uji materil tersebut tidak dijalankan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang mengeluarkan peraturan tersebut, maka otomatis Putusan MA tersebut tidak berlaku.
Isi Pasal 8 Ayat (2) Perma No 1 Tahun 2011ctentang Hak Uji Materil, dikutip selengkapnya berbunyi:
"Dalam hal 90 hari setelah putusan MA tersebut dikirim ke Badan atau Pejabat Usaha Tata Negara, yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut, ternyata Pejabat tersebut tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan perundang-undangan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum."
Seperti diketahui, Majelis Hakim Agung MA yang terdiri dari Irfan Fachrudin, Yodi Martono dan Supandi, Kamis, 13 September 2018, telah memutuskan bahwa PKPU No 20 Tahun 2018 dan juga PKPU No 26 Tahun 2018 yang melarang eks koruptor nyaleg bertentangan dengan UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Memang dibatalkan. Tapj tidak otomatis berlaku. Apalagi penetapan DCT tinggal 5 hari lagi (20 September 2018). Apa semua bisa dikejar. Dan saya dengar Kepaniteraan MA belum juga menyerahkan Salinan Putusan ke KPU. Kalau kita berandai-andai Salinan Putusan diserahkan pada hari Senin, itu kan tanggal 17. Apa bisa dikejar?" terang Syafrizal.
Partai-partai yang ingin memajukan para mantan koruptornya pun pasti supet sibuk untuk mengejar deadline tanggal 20 September, imbuhnya.
"Dan KPU, bisa saja tidak menjalankan putusan tersebut, dalam arti, tidak memasukan nama-nama mantan kiruptor ke dalam DCT," dengan alasan teknis, tandasnya.
Ketika kepadanya ditanyakan, mengapa Perma No 2 Tahun 2011 tersebut tidak mewajibkan badan ataupun pejabat TUN untuk melaksanakan Putusan MA, Syafrizal mengatakan hal itu terkait dengan politik hukum.
"Kalau Perma tersebut mewajibkan, bisa saja putusan MA tersebut berbahaya bila dijalankan atau menimbulkan kerugian besar atau dampak-dampak tertentu, yang mana dalam hal itu yang memahaminya adalah pemerintah. Sehingga politik hukumnya adalah, diserahkan kepada kebijakan badan atau pejabat TUN yang mengeluarkan oeraturan tersebut," jelas alumnus FHUI tersebut.
"Dan KPU, seandainya menjalankan Putusan MA tersebut, maka berarti KPU melindungi hak-hak politik para mantan koruptur untuk maju dalam pileg. Namun, jika tidak menjalankanya, KPU bisa saja berargumen untuk melindungi hak-hak politik dan hak hukum masyarakat untuk mendapat wakil rakyat yang bersih," pungkasnya.
.tn