Ilustrasi |
JabarCeNNa.com, Kuningan - Kepala Desa (Kades) Sagaranten, Kecamatan Ciwaru, Rastim Yudiana yang melakukan pengancaman kepada warganya karena melakukan pengawasan atas pembangunan dan pengelolaan keuangan desa, jelas adalah seorang penjahat demokrasi.
Demikian dikatakan Direktur Politik dan Hukum ANCaR (Aliansi Nasional Cendikiawan Akar Rumput) Institute, Herry Gunaean kepada JabarCeNNa.com ketika dihubungi di kediamanya di Ciporang, Kuningan, Jumat, 14 September 2018.
"Jelas dia ( Rastim Yudiana) adalah penjahat demokrasi,"tegas Herry.
Rastim, kata Herry, harus diingatkan bahwa Indonesia ini adalah Republik Demokrasi, yang kekuasaanya dibentuk oleh rakyat, dan oleh karenanya pemerintahanya juga harus berdasarkan kehendak rakyat.
"Dan Kabupaten Kuningan ini, termasuk Desa Sagaranten, merupakan bagian dari Republik Indonesia, bukan kerajaan tersendiri. Jadi tolong kelakuan dijaga, apalagi jadi kades, jangan berlagak jadi raja kecil," kecam Herry.
Seperti diberitakan, Kades Sagaranten Rastim Yudiana melakukan pengancaman kepada warganya yang bernama Ade Kusnawan, karena tokoh pemuda itu diketahui belaka kerap melakukan monitoring atas kinerja Pemerinta Desa Sagaranten.
Bahkan Rastim mengetahui kalau Ade termasuk salah seorang dari 70 warga yang melaporkanya ke Unit Tipikor Polres Kuningan dengan tuduhan korupsi atas sejumlah proyek pembangunan di Desa Sagaranten.
Laporan disampaikan warga pada 17 Januari 2018 secara tertulis disertai bukti-bukti.
Rupanya kekesalan Rastim memuncak ketika Ade memotret mobil dinas Camat Ciwaru yang membawa empat petugas dari Inspektorat Kabupaten Kuningan dan mengirimkanya ke redaksi JabarCeNNa.com, sehingga berita kedatangan Tim Khusus Inspektorat Kabupaten tersebut terpublikasikan.
"Kamu dagang, dagang saja. Jangan campuri masalah (pemerintah) desa," kata Rastim di warung Ade, Kamis, 13 September 2018.
"Nanti saya...." kata Rastim sambil menggerakan tangan kananya ke arah leher yang menggambarkan perbuatan 'menggorok' leher.
Herry Gunawan mengecam dan mengutuk perbuatan Rastim tersebut.
"Jelas mudah dipahami oleh Ade, bahwa sang kades mau membunuhnya. Dan jelas itu adalah teror atas demokrasi. Teror atas partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan pemerintahan yang diperbolehkan UU dan Konstitusi " tegas Herry.
"Saran saya, sebaiknya Kades Sagaranten konsentrasi saja atas tuduhan hukum yang diarahkan kepadanya. Dia kan dituduh korupsi, itu kan tuduhan serius, lebih dari soal maling ayam, tapi ini soal maling uang rakyat," tandasnya.
Menurut Herry, walau masalah ini telah dilaporkan Ade ke Polsek Ciwaru dan keduanya oleh polisi telah didamaikan, tetapi masalah tersebut tidak bisa berhenti sampai disitu.
"Okelah, polisi mendamaikan keduanya. Pidananya ditutup. Tapi bagaimana dengan efek teror yang ditimbulkan oleh pengancaman itu. Efeknya, kan bukan saja mengenai warga Desa Sagaranten tetapi juga warga desa lainya di Kabupaten Kuningan," nilai Herry.
Herry mengaku, hal pengancaman serupa juga sebenarnya terjadi di banyak desa lain di wilayah Kabupaten Kuningan.
"Pengancamanya macam-macam, ada yang langsung, ada yang lewat kaki tangan sang kades. Ancaman ada yang bersifat pisik, tetapi ada yang bersifat sosial, disisihkan kades dan para begundal-begundalnya" ungkap Herry.
Menurut Herry, Bupati harus memanggil Kades Sagaranten, dan kemudian menyampaikan ke publik bahwa perbuatan Rastim tersebut adalah sebuah perbuatan teror atas demokrasi.
"Bupati harus nyatakan hal itu ke publik sebagai perbuatan teror atas demokrasi atau apalah, terserah istilah apa yang mau dipakai bupati," tegas Herry.
Sementara itu Direktur Politik dan Budaya ANCaR Insititute Yatno Kartarajasa menambahkan, bupati harus mengetahui bahwa kucuran dana miliaran dari Pemerintah Pusat ke desa-desa tidak selalu membawa kebaikan, seperti diharapkan pemerintah.
"Dana desa miliaran itu nyatanya malah menimbulkan perseteruan di desa, karena ulah sang kades dengan para begundalnya yang nengangkangi dana desa. Padahal UU Desa secara jelas menekankan partisipasi masyarakat desa mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga tahap pengawasan," jelas Yatno.
Selain menimbulkan perseteruan, dana desa yang diharapkan menjadi stimulan untuk membangun semangat royong yang ada pada masyrakat kita, tapi nyatanya malah menimbulkan sikap apatis, karena kades dan para begundal-begundal desa "mengurung" habis dana desa dan proyek-proyek yang ada.
"Masyarakat desa malah jadi pasif. Bahkan antipati. Hal ini harus segera direspon, kalau kita tidak ingin terjadinya perubahan psikologi masyarakat atas proses-proses pembangunan di desanya," pungkas Yatno.
.tn