ANCaR Institute: Kejari Kuningan Tidak Boleh Tangani Kasus Korupsi dengan Gaya Ninja


JABARCENNA.COM, Kuningan - Jajaran Kejaksaan Negeri (Kejari) Kuningan diminta tidak menangani kasus-kasus korupsi, terutama korupsi di tingkat desa, dengan gaya gelap-gelapan ala Ninja.

Demikian disampaikan Direktur bidang Politik dan Pemerintahan ANCaR Institute, Runedi, menanggapi respon Kasie Pidsus dan Kasie Intel Kejari Kuningan yang terkesan plintat plintut ketika kepada keduanya ditanyakan penanganan instansinya atas kasus korupsi di desa. Ketika ditemui di Kuningan,  Minggu 19 Agustus 2018

"Ya, mari kita lihat bersama, apakah ada kerja kejaksaan selama ini dalam penanganan kasus korupsi, terutamanya atas dana Alokasi Anggaran Desa (ADD). Jadi situasinya adalah, apakah memang Kabupaten Kuningan dengan desa-desanya bersih dari  tindak pidana korupsi atau pihak kejaksaan yang kerjanya tidak becus," ketus Runedi.

Runedi mengatakan, dana ADD pada anggaran tahun 2018 dikucurkan langsung ke desa sebesar Rp60 triliun lebih, dan pada APBN 2019 meningkat lagi hingga ke angka Rp 80 triunan, kata Runedi.

"Pihak kejaksaan seharusnya lebih proaktif, terutama bidang intelnya. Jangan hanya menunggu laporan masyarakat atau limpahan kasus dari pihak penyidik Polri," kata Runedi.

Runedi sendiri mengaku sering mendapat curhat dari warga desa tentang korupsi yang dilakukan pemerintahan desa, namun warga enggan melaporkan karena dikhawatirkan hal tersebut menjadi perseteruan abadi antara si pelapor dengan kepala desa dan perangkatnya serta para pendukungnya.

"Ya, si warga enggak enak perasaanlah, karena mereka kan hidup dalam lingkungan yang close," ucap Runedi.

Karenanya dirinya menyesalkan sikap yang ditunjukan dua pejabat utama Kejari Kuningan yakni Kasie Pidsus, Zainur, dan Kasie Intel, Wawan, yang enggan menjawab JabarCeNNa.Com sama sekali ketika kepada keduanya ditanyakan, apakah ada kasus korupsi di desa yang sedang ditangani atau setidaknya dalam monitoring pihak Kejari Kuningan.

"Wah, saya harus koordinasi dulu dengan pimpinan (Kajari Kuningan Adhiyaksa)," kata Kasie Intel, Wawan, kepada JabarCeNNa.Com, Kamis, 18 Agustus 2018.

"Karena itu termasuk rahasia," tambah Wawan.

Sedangkan Kasie Pidsus, Zainur, menghindar menjawab dengan cara mempersoalkan hal- hal tidak penting dalam pertanyaan JabarCeNNa.Com.

"Di kejaksaan tidak ada istilah monitoring, pak," kata Zainur.

Lalu, apakah anda tahu apa itu tupoksi kejaksaan, jawab Zainur dengan pertanyaan dengan yang terkesan merendahkan pengetahuan JabarCeNNa.Com.

"Saya pikir Kasie Pidsus tinggal jawab saja, kalau ada katakan ada, kalau memang tidak ada, katakan tidak ada. Jangan menghindar, dengan modus sok-sok-an mengkritisi hal-hal yang tidak penting. Persoalan substansial yang harus dia jawab adalah, ada atau tidak, kasus korupsi di tingkat desa yang sedang ditangani pihak Kejari Kuningan. Itu saja. Dan publik berhak tahu itu," tegas Runedi.

Rudi pun menyayangkan sikap Kasie Intel, Wawan, yang tidak berani menjawab sebelum koordinasi atau lapor terlebih dabulu kepada Kajari selaku atasanya.

"Masak soal sederhana seperti itu harus lapor dulu sama atasan. Kayak anak kecil saja," ucap Runedi sinis. 

Runedi pun jadi mempertanyakan konsep komunikasi publik yang ada pada Adhiyaksa selaku Kajari Kuningan.

"Jangan kalau kasus udah busuk baru diekspose ke publik, sibuk panggil media. Contoh, kasus Kades Cimara (Umaruddin) yang saat ini mendekam di Sukamiskin Bandung. Itu kasus diekspose dan diseret ke meja hijau, kan, karena sudah 'busuk'," tegas Runedi.

Menurut Runedi, Kejari Kuningan justru harus pro aktif mengkomunikasikan hasil-hasil kerjanya ke publik, terutama dalam soal penanganan kasus korupsi, sehingga masyarakat dapat mengetahuinya. Dan lebih dari itu, bisa membantu pihak kejaksaan.

"Aparat kejaksaan jangan kerjanya kayak 'Ninja'. Serba gelap-gelapan. Jangan. Masyarakat sudah cerdas," ucapnya.

Karenanya Runedi pun tidak sepenuhnya sependapat dengan Kasie Intel Wawan yang mengatakan kasus korupsi sebagai rahasia.

"Wah, kalau dibilang rahasia, kita jadi semakin yakin, kalau pihak kejaksaan suka 86 kasus-kasus korupsi, dan menjadikan tersangka korupsi sebagai ATM," sergahnya.

Runedi memahami ada hal-hal tertentu yang harus dijaga kerahasiaanya dalam proses penyelidikan atau penyidikan kasus korupsi.

"Mungkin menyangkut nama tidak perlu disebut, karena terkait nama baik dan juga berpegang pada asas praduga tidak bersalah. Tetapi kalau soal modus operandi dan jumlah kerugiaan keuangan negara, dan yang terpenting soal posisi kasus sudah sampai tahap mana. Kita bertanya, apa perlunya soal-soal demikian dirahasiakan, kecuali untuk kepentingan-kepentingan di luar hukum," tandasnya.

Kerahasiaan dalam proses penanganan kasus-kasus korupsi, tidak boleh menjadi dalih aparat penegak hukum untuk mengabaikan hak publik untuk mengetahui proses-proses hukum yang sedang berjalan, poin Runedi.


.tn