JABARCENNA.CON, Kuningan- Pengundangan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dan pengalokasian Anggaran Dana Desa (ADD) dalam APBN dengan jumlah relatif besar yang dikelola secara mandiri oleh Desa, diharapkan atau tegasnya ditujukan pada maksud pemerataan pembangunan, pemberdayaan masyarakat desa, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.
Dengan ADD yang dikelola secara mandiri oleh desa, diharapkan dapat menahan arus urbanisasi, dan bahkan dapat nenarik pulang para perantau desa di kota-kota besar untuk kembali dan membangun desa.
Tetapi faktanya, seperti banyak dikhawatirkan banyak pihak, penggelontoran dana besar-besaran ke desa lewat ADD, hanyalah memindahkan korupsi dari kota ke desa.
ADD yang seharusnya dikelola desa, artinya semua stake holder di desa dilibatkan, namun pada prakteknya hanya dikelola pemerintah desa, bahkan tidak jarang dikelola sendiri oleh sang kepala desa bersama oknum- oknum tertentu dan para begundal desa.
Banyak masyarakat desa mengatakan, ADD dikorupsi sang kepala desa, dikorupsi, ceunah. Cenna.
Setahun Bangun 3 Gapura, Uang Rakyat Dipakai Kurang Manfaat
Gapura sering diartikan sebagai pintu gerbang masuk suatu kawasan. Gapura biasanya berupa struktur bangunan beton, namun bisa pula dibuat dari rangkaian kayu atau bambu.
Gapura, adalah arsitek Hindi yang biasa ditemukan pada bagian depan pura. Namun gapura telah diterima masyarakat Indonesia sebagai bagian dari kreasi bangsa di bidang arsitek, terutama masyarakat yang tinggal di desa-desa.
Selain berfungsi sebagai pintu masuk, gapura juga sering dijadikan ikon. Maka desa-Desa yang berada di lintasan jalan nasional, jalan provinsi atau pun jalan kabupaten, biasanya membangun gapura yang lumayan megah karena selain berfungsi sebagai pintu gerbang, juga sebagai ikon.
Pembangunan sebuah gapura di desa lazimnya didasarkan pada semangat dan mekanisme musyawarah, karena tidak saja menyangkut struktur dan design gapura, tetapi juga menyangkut soal pengerjaan dan pembiayaanya.
Hal inilah yang disesalkan masyarakat Desa Sagaranten, Kecamatan Ciwaru, karena kepala desa mereka, Rastim Yudiana, sama sekali tidak melibatkan warga dalam pembangunan gapura di desa mereka.
Apalagi gapura yang dibangun bukan satu, tetapi tiga buah.
"Masyarakat sama sekali tidak dilibatkan, tahu- tahu gapura sudah berdiri. Bukan satu, tapi tiga! Lalu apa manfaatnya tiga gapura itu buat masyarakat Desa Sagaranten yang tinggal di pelosok seperti ini," kata seorang warga desa, sebut saja Ali, kepada JabarCeNNa.Com, belum lama ini.
Dikatakanya pembangunan ketiga gapura tersebut dilakuan pada Tahun Anggaran (TA) 2016, dan menelan biaya total hampir Rp150 juta.
Ketiga gapura tersebut berdiri di Dusun Babakan, Dusun Sagara, dan di TPU (Tempat Pemakaman Umum.
Gapura Dusun Babakan menelan biaya Rp61,9 juta, gapura Dusun Sagara Rp61,7 juta dan gapura TPU Rp25,5 juta.
"Untuk apa gapura-gapura itu dibangun?? Padahal pada tahun 2015 sudah dibangun Gapura Selamat Datang dengan biaya Rp60 juta yang berdiri di petbatasan Desa Margacina," kecam Ali.
Dan yang menjadi kekesalan dan kejengkelan warga Desa Sagaranten kepada sang kades adalah, pembangunan ketiga gapura tersebut sama sekali tidak melibatkan warga desa, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan.
"Bahkan BPD (Badan Perwakilan Desa) pun sama sekali tidak dilibatkan. Ini kan, sudah ngawur namanya," sergahnya.
Kejengkelan warga tidak sampai disitu saja, warga menjadi lebih dongko lagi karena pada tahap perencanaan Rastim sebagai kades malah menyuruh perangkat desa tetangga untuk membuat RAB pembangunan ketiga gapura tersebut.
"Desa Sagaraten kan punya perangkat sendiri, mengapa untuk membuat RAB harus minta tolong sama perangkat desa lain. Ada apa?!!" kata Ali dalam nada bertanya.
Lalu, lanjut Ali dalam nada yang semakin dongkol, yang mengerjakan ketiga gapura itu orang dari luar desa, dan kades yang belanja material, katanya.
"Yang mengerjakan gapura orang luar desa, tapi yang belanja material kades sendiri. Itu kan sama saja kades jadi kontraktor pakai modal uang rakyat," umpat Ali.
Palsukan Tandatangan
Karenanya pula, Ali tanpa ragu mengatakan bahwa pembangunan ketiga gapura tersebut sarat dengan korupsi.
"Jelas (ada) korupsi. Kalau tidak korupsi, mengapa rakyat tidak dilibatkan. Bahkan BPD juga ditinggalkan. Dan para anggota BPD, selain Ketua BPD, mengatakan kepada beberapa warga bahwa, mereka sama sekali tidak dilibatkan dalam penyusunan APBDes TA 2016"
"Tanda tangan mereka dipalsukan!" ungkap Ali.
"Tanda tangan mereka dipalsukan!" ungkap Ali.
Upaya konfirmasi kepada Kepala Desa Sagaranten Rastim Yudiana sudah dilakukan JabarCeNNa berkali-kali, baik dengan cara menemui langsung di balai desa, menghubungi via telepon, hingga mengirimkan SMS, tetapi tidak mendapat respon dari Rastim.
Kasus dugaan korupsi yang dilakukan Kades Rastim Yudiana ini telah dilaporkan warga Desa Sagaranten ke Unit Tipikor Polres Kuningan.
"Kita sudah laporkan, baik secara lisan maupun tertulis sejak 17 Januari 2018. Dalam laporan juga kita sertakan data-data, yang menurut kami lebih dari cukup untuk menetapkan kasus ini masuk ke tahap penyidikan," kata warga lainya, sebut saja Muhammad.
.tn